Murhali dan Kepala Kuda
Baris terdepan mulai memutar arah, kemudian diikuti semua orang dan kami mulai berlari lagi.
Setelah puluhan tahun dongeng itu diceritakan dari mulut ke mulut dan akhirnya terlupakan ketika kami dewasa, seorang pengemis yang sering mencari botol-botol bekas di kumpulan sampah di pojok lapangan itu tiba-tiba lari terbirit-birit.
Sepetak tanah kosong dan gersang cukup untuk dijadikan lapangan dengan segala acara kampung yang diadakan. Mulai dari hajatan agustusan, pertandingan sepak bola maupun voli, hingga tempat ibu-ibu PKK memulai senam di hari Minggu pagi. Lapangan kami selalu ramai di setiap sorenya. Tak pernah satu hari pun lapangan itu sepi oleh anak-anak dan orang dewasa. Semuanya bermain di sana, untuk sekadar ngobrol atau mengaso sepulang dari sawah. Meskipun lapangan itu gersang tetapi masih ada satu pohon keres yang selalu menaungi orang-orang di bawahnya ketika siang hari. Buahnya selalu matang dan merah, banyak sekali yang bejatuhan ke amben di bawahnya. Ada juga yang tak sengaja jatuh ke dalam caping para petani dan mereka memakannya dengan enteng saja, seperti sebuah berkah yang tak sengaja dikhususkan bagi mereka.
Dan di situ pula seorang pemulung hampir setiap harinya memunguti botol bekas dan segala benda yang sekiranya bisa dijual dan diloakkan. Kadang- kadang ia juga mendapatkan langsung barang bekas dari para ibu-ibu yang rumahnya berada di sekitar lapangan. Murhali sudah dikenal karena sering mengorek-ngorek tempat sampah, kadang juga ia tidur di amben, di bawah pohon keres.
Sehari sebelum kami rapat dadakan di balai kampung, si pemulung lari terbirit-birit seperti dikejar setan. Kantong sampah yang ia sunggi ditinggalkannya begitu saja. Seluruh warga kampung bengong dan kaget mukanya.
“Kepala kuda!”
“Darah!”
“Kepala manusia!”
“Tengkorak!”
Teriakan-terikan itulah yang menggema dari mulut Murhali. Dan dongen ibu menjadi nyata, lapangan yang pernah dikatakan dalam cerita sebagai tempat pembantaian para wanita petani dan pengikut gerakan tiga puluh itu benar-benar ada.
Sungguh sulit dipercaya, kami pikir itu hanyalah carito biasa agar anak-anak seperti kami dahulu selalu bermain dengan sopan dan menghormati tempat itu serta tidak sembarangan menggunakannya.
Pada malam hari tak ada lampu sama sekali dan lapangan itu terlihat begitu gelap, seakan-akan ada yang mengintai kami di kegelapan sehabis pulang mengaji. Suatu kali ketika kami asik berlarian melewati lapangan, mata kami tiba-tiba terpaku pada dua titik cahaya remang-remang menyala seperti mata dan terdengar suara ringkih kuda yang pelan.
“Kau mendengar dan melihatnya kan?”
“Itu para prajurit desa yang mati ketika menaiki kuda.”
“Memangnya kampung kita punya kuda dahulu?”
“Ya, sebab itu sekarang kampung kita tak ada yang berani memelihara kuda.”
Kami berlari cukup kencang setelah melihat bayangan muka yang tiba-tiba muncul. Kami mengira bahwa itu hanya pak pemulung yang mencari sampah-sampah. Dan kami memang tak berani bermain malam-malam di sana. Hanya berani bermian pada pagi, siang atau sore hari.
Kejadian itu tak pernah kami gubris lagi. Itu hanya dongeng ibu semata agar kami tak bandel dan lagipula cerita itu tetap seru meskipun kami pernah mengalami hal menakutkan.
“Kita bahkan tak pernah tahu ini menjadi nyata.” Kata kepala desa.
Seisi balai itu tegang dalam kesunyian malam, masing-masing warga begidik-ngeri membayangkan lapangan itu. Terlebih para warga yang dekat dengan lapangan, mereka tak berani pulang, tapi mau bagaimana lagi, mereka hanya bisa merapal doa.
“Tapi aku tidak percaya pemulung itu.”
“Bagaimana bisa?”
“Siapa tahu dia seorang psikopat yang kurang kerjaan, membunuh kuda dan pemiliknya lalu dengan sengaja ia lemparkan ke tumpukan sampah itu untuk menghilangkan jejaknya.”
“Ngaco kamu! Mana mungkin pemulung punya pisau atau golok setajam itu untuk memenggal dua kepala.”
“Siapa tahu dia menemukan golok di tempat sampah lain?”
“Siapa memangnya yang mau membuang golok yang masih tajam. Kau tahu sendiri harga golok, arit, dan pisau sejenis itu mahal, sayang untuk dibuang.”
Malam itu mereka habiskan dengan membicarakan apa yang terjadi sehari sebelumnya. Lapangan menjadi sepi. Para anak-anak serta ayah ibu mereka yang berdekatan dengan lapangan memilih mudik ke rumah orang tua yang jauh. Takut kalau suatu malam mereka digentayangi ringkih kuda dan jeritan arwah kepala yang terpenggal itu. Lebih-lebih jika pembunuh menyusup ke rumah mereka.
Ibu memang sering menceritakan itu kepada kami juga dengan pak ustad. Bahwa kampung kami memiliki sejarah yang menakutkan, banyak kepala orang-orang dipenggal dan dibuang begitu saja ke sana. Entah kemana tubuhnya, mungkin dibawa oleh kuda-kuda yang masih hidup, disunggikan pada punggung-punggung mereka dan darah menetes deras bagai air dari mobil tangki PDAM sepanjang jalan. Tentu saja selama ini kami mengganggap bahwa cerita yang diteruskan dari buyut-canggah kami adalah dongeng negeri peri. Sampai Murhali, si pemulung itu ketakutan dan tak kembali lagi sampai sekarang.
Setelah rapat dadakan di balai kampung itu tak kunjung menemukan jalan, seorang sesepuh memutuskan untuk mencari Murhali.
“Masih pagi begini, Pak. Mau ke mana?”
“Mencari Murhali.”
“Mbok cari saja di lapangan.”
“Ibu tak ikut rapat semalam memang. Murhali lari tebirit-birit. Dia menemukan kepala orang dan kepala kuda. Ada baiknya ibu kemas kebutuhan penting lalu kita mencari Murhali sekaligus pergi dari kampung ini.”
Seluruh warga ketakutan, masa silam itu membayangi mereka. Takut kalau tiba-tiba menemukan kepala suami atau anaknya tergeletak di meja makan.
Siangnya, satu per satu dari mereka mulai keluar rumah dan menuju jalan besar, ada yang ke arah barat, ke timur, ke utara, ke selatan. Sampai-sampai seluruh arah mata angin seperti dipenuhi arak-arakan orang dari kampung itu. Semenjak itu tak ada yang berbicara atau bertegur sapa di anatara mereka. Ketakutan dan rasa malu dianggap pengecut menyelip di wajah mereka, termasuk kami.
Ini bukan perkara pemuda yang berani atau remaja yang mau ambil risiko. Semua anggapan itu hilang. Bahkan nyali kami sendiri pun sirna. Kami mengikuti ibu bapak kami. Kami juga berpura-pura mencari Murhali meskipun jika kami mencarinya secara sungguhan, itu tak akan terjadi dan Murhali tak akan pernah ketemu.
“Siapa yang masih ada di dalam kampung kita itu?” Sesepuh kami berjalan di pinggir bapak.
“Saya kira tak ada. Semua orang mencari Murhali.” Bapak membuang muka begitu pun sesepuh kami. Wajah kami tegang bercampur cemas.
Sampai matahari mulai melemah, jalan di belakang kami masih ramai oleh tetangga-tentangga yang melongokkan kepalanya ke sana ke mari, ada juga di antara mereka yang memanggil-manggil nama Murhali. Tapi hanya deru angin di pepohonan yang menyahuti mereka.
Malam tiba dan masing-masing dari kami masih terus berjalan. Kerena semua jalan yang dilalui orang-orang itu sebenarnya mengarah ke satu jalan yang lebih besar, jalan antar-provinsi, maka kami semua bertemu di sana. Seperti segerombolan semut yang tengah ngerubung bangkai cicak. Di hilir jalan semua orang mulai bertatap-tatapan. Hanya sebagian orang saja yang masih saling bicara.
Tiba-tiba Pak Kepala Desa yang kebetulan berada di tengah, berteriak, “Warga sekalian! Ada baiknya kita pergi ke kampung lain yang dekat dari sini. Kita akan menumpang tidur di rumah-rumah kampung sebelah. Ini keadaan darurat. Sekalian kita memberitahukan pada mereka bahaya sedang mengintai.
“Ya! Setuju!”
“Setuju!”
“Setuju!”
Maka semua berjalan mengambil arah kanan. Jalan tiba-tiba sesak dan kebetulan sedang tidak ada kendaraan lewat. Mereka semua berjalan tergesa-gesa. Saling menyalip dan saling dorong.
Kata nenek. Orang-orang yang suka membantai dan memenggal kepala akan selalu mengikutimu dari belakang di gelap malam dengan golok atau sentaja tajam lain yang terhunus.
Banyak anak kecil terjatuh, rombongan kami semakin cepat berjalan kemudian bertambah cepat dan akhirnya kami semua berlari.
Sekian lama kami berlari dan kampung terdekat sudah terlihat. Sebelum kami memasuki gapura itu, seseorang berteriak sangat kencang.
“Tunggu dulu!” Orang itu melihat ke arah pojok kanan atas gapura, semua mata mengikuti arah itu. Kami melihat wajah yang familiar, wajah Murhali. Dengan darah yang masih segar menetes dari lehernya yang terpotong dan kepalanya yang tertancap di bambu penyangga bendera. Semua orang terdiam, dan kami hampir muntah. Baris terdepan mulai memutar arah, kemudian diikuti semua orang dan kami mulai berlari lagi.
-2018